
Amat Samawa – Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kopi di Indonesia berkembang pesat. Tak hanya menjadi tren gaya hidup, kopi juga menjadi ladang bisnis yang menjanjikan hingga ada yang omzet miliaran dari kopi . Salah satu bukti nyatanya adalah kisah inspiratif dari Satrio, pemilik brand Sans Rastery, yang sukses meraih omzet hingga Rp2,5 miliar per tahun dari bisnis kopi yang ia bangun dari nol.
Perjalanan Satrio tidak dimulai dari warisan atau modal besar. Ia memulai kariernya sebagai barista sambil kuliah di Jogja pada tahun 2016. Kala itu, menjadi barista tidak semudah sekarang. Seseorang harus mulai dari posisi pelayan (server) sebelum bisa menyentuh mesin kopi. Proses panjang ini justru mengasah mental dan ketekunan Satrio.
Hasratnya pada kopi membawanya bekerja di Qatar sebagai barista hingga menjadi Store Manager. Di sana, ia sempat menempuh pelatihan dari Specialty Coffee Association (SCA). Namun, pandemi COVID-19 membuatnya harus pulang ke Indonesia dan memulai dari awal lagi.
Setibanya di Ponorogo, Satrio membuka coffee shop pertamanya. Di tahun pertama, bisnis berjalan baik hingga membuka cabang di Madiun. Namun, kekurangan pengalaman bisnis dan manajemen membuatnya harus menelan pil pahit: gagal dan tutup.
🔴 AD - Klik gambar untuk membeli di Shopee!
Ia menyadari, idealisme saja tidak cukup. “Saya tidak memberikan apa yang dibutuhkan pasar,” tuturnya. Hal ini membuatnya berpikir ulang tentang arah bisnis dan mulai belajar lebih dalam tentang manajemen usaha.
Alih-alih patah semangat, Satrio berinovasi. Ia melihat bahwa membuka roastery atau usaha sangrai kopi memiliki cakupan pasar yang lebih luas daripada sekadar coffee shop. Maka lahirlah Sans Rastery. Namun tantangan baru muncul: kompetitor besar, teknologi canggih, dan persaingan harga.
Untuk mengatasinya, Satrio bergabung dalam inkubator bisnis dan mendapat bimbingan dari perusahaan agribisnis yang membantunya belajar membuat rencana bisnis, anggaran, dan strategi jangka panjang. Ia juga dibantu oleh Bank Jatim dan Bank Jatim Syariah untuk pengembangan branding dan akses pendanaan.
Transformasi mindset dan strategi berbuah manis. Di tahun pertama, Sans Rastery mencatat omzet Rp600 juta. Di tahun kedua, omzet melonjak drastis menjadi Rp2,5 miliar, atau naik lebih dari 4 kali lipat.
Pertumbuhan ini tidak lepas dari fokus pada kualitas produk, penguatan branding, dan ekspansi pasar ke luar kota, termasuk Jakarta dan Bali. Kopi hasil fermentasi dari Ponorogo yang diproses Sans Rastery bahkan laku keras, meskipun ketersediaan bahan bakunya terbatas.
Satrio membagi strateginya menjadi beberapa pilar utama:
Satrio menganggap kegagalannya dulu sebagai investasi pembelajaran. Ia menyadari pentingnya pengalaman dan keberanian untuk memulai lagi. Menurutnya, “Tidak semua orang harus gagal untuk sukses, tapi kalau sudah pernah gagal, kita bisa belajar lebih dalam dan menciptakan sistem yang lebih kuat.”
Salah satu misi Sans Rastery adalah mendukung petani kopi lokal. Satrio pernah memproduksi kopi dari Ponorogo sebanyak 500 kilogram yang habis dalam waktu 3 minggu karena proses fermentasi dan kualitas sangrainya yang tinggi. Ia berharap bisa memperluas pasokan dari petani lokal untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat.
Industri kopi tidak sesederhana menyeduh secangkir espresso. Di baliknya ada rantai panjang dari kebun kopi (hulu) hingga penikmat kopi (hilir). Satrio memposisikan roastery-nya di tengah-tengah rantai ini, menjembatani petani dan pelaku coffee shop.
Ia juga menekankan pentingnya memahami grade kopi, dari Speciality, Grade 1 hingga Grade 4, yang menentukan rasa, harga, dan pasar kopi itu sendiri.
Bagi Satrio, passion adalah bahan bakar utama. Ia mengibaratkan kopi seperti pasangan hidup: “Sudah jatuh cinta duluan, eh ternyata dapatnya itu juga.” Selain cinta, konsistensi dalam kualitas dan komitmen belajar adalah fondasi yang membuat bisnisnya bertahan dan tumbuh.
Dalam era di mana banyak coffee shop hanya mengejar viralitas, Satrio memilih jalur berkelanjutan. Ia tidak hanya menjual kopi, tapi juga pengalaman, edukasi, dan nilai.
“Idealisme itu perlu, tapi harus disesuaikan. Jangan gengsi belajar dari orang lain. Semakin merasa pintar, sebenarnya kita semakin sadar bahwa kita tidak tahu apa-apa,” tutupnya.
Warisan Inspirasi Untuk Keluarga Indonesia